URGENSI PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

URGENSI PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT (1)

 Sebagai pertanggungjawaban rasional dan mendasar mengenai sila-sila dalam Pancasila sebagai prinsipprinsip politik.
Sebagai penjabaran lebih lanjut sehingga menjadi operasional dalam bidang-bidang yang menyangkut hidup bernegara.
Sebagai pembuka dialog dengan berbagai perspektif baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

URGENSI PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT (2)

Sebagai evaluasi terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat, serta memberikan perspektif pemecahan terhadap permasalahan nasional (Sastrapratedja, 2001: 3).

SEBAGAI SISTEM FILSAFAT (3)

GENETIVUS-OBJECTIVUS Pancasila sebagai genetivusobjectivus. Artinya, nilai-nilai Pancasila dijadikan sebagai objek yang dicari landasan filosofisnya berdasarkan sistem-sistem dan cabangcabang filsafat yang berkembang di Barat.
GENETIVUS-SUBJECTIVUS Pancasila sebagai genetivussubjectivus. Artinya, nilai-nilai Pancasila digunakan untuk mengkritisi berbagai aliran filsafat yang berkembang, baik untuk menemukan hal-hal yang sesuai maupun tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila

CONTOH KASUS (1)
SOLO, KOMPAS.com - Tim Densus 88 Polri mengamankan tiga orang terduga teroris di Kota Solo dan Kabupaten Karangayar. "Total ada tiga yang diamankan Tim Densus 88, dua di Karanganyar dan satu di Solo. Dua di Karanganyar berinsial S dan EM, sedangkan di Solo, HS," kata Kapolda Jawa Tengah, Irjen Condro Kirono, di Solo, Minggu (4/2/2018).
CONTOH KASUS (2)
PEMBAHASAN
Secara jelas, perilaku teror merupakan perilaku yang menyimpang, merugikan orang lain, serta termasuk sebuah kejahatan besar yang tidak termaafkan. Dengan demikian, dalam konteks filsafat Pancasila (yang lahir dari perpaduan agama, adat istiadat, dan budaya), terorisme bertentangan dengan filsafat Pancasila.
CONTOH KASUS (3)
 CARA MENCEGAH TINDAKAN TEROR
1. Perlu membiasakan dialog secara terbuka mengenai hubungan agama dan negara.
2. Perlu ditumbuhkan kesadaran kolektif.
3. Perlu ada kesadaran hukum bahwa tindakan terorisme bertentangan dengan agama, melanggar nilai kemanusiaan, merusak persatuan dan kesatuan, mencederai sistem demokrasi, dan mengabaikan visi keadilan sosial.

Filsafat Pancasila sangat dibutuhkan dan layak dipelajari, mengingat Pancasila dijalankan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Titus, Smith, dan Nolan menjelaskan pada kehidupan zaman modern seperti sekarang ini pun, manusia memerlukan filsafat karena beberapa alasan. Pertama, manusia telah memperoleh kekuatan baru yang besar dalam sains dan teknologi. Manusia juga mengembangkan bermacam-macam teknik untuk memperoleh ketenteraman (security) dan kenikmatan (comfort). Namun, manusia juga mengalami kondisi tidak tenteram dan gelisah karena mereka tidak tahu dengan pasti makna hidup mereka dan arah yang harus ditempuh dalam kehidupan mereka. Kedua, filsafat bekerjasama dengan disiplin ilmu lain dan memainkan peran yang sangat penting untuk membimbing manusia kepada keinginankeinginan dan aspirasi mereka (Titus, Smith, dan Nolan, 1984: 24).

Mengingat pentingnya filsafat, termasuk dalam mempelajari Pancasila, ada beberapa faedah filsafat yang perlu diketahui dan dipahami sebagai berikut. Pertama, faedah terbesar dari filsafat adalah untuk menjajaki kemungkinan adanya pemecahanpemecahan terhadap problem kehidupan manusia. Jika pemecahan itu sudah diidentifikasikan dan diselidiki, manusia akan mendapatkan kemudahan dalam pemecahan persoalan hidupnya. Kedua, filsafat adalah suatu bagian dari keyakinankeyakinan yang menjadi dasar perbuatan manusia. Ide-ide filsafat membentuk pengalaman-pengalaman manusia pada waktu sekarang (saat ini). Ketiga, filsafat adalah kemampuan untuk memperluas bidang-bidang kesadaran manusia agar dapat menjadi lebih hidup, lebih dapat membedakan, lebih kritis, dan lebih pandai (Titus, Smith, dan Nolan, 1984: 26).

Urgensi Pancasila sebagai sistem filsafat atau filsafat Pancasila, artinya adalah refleksi filosofis mengenai Pancasila sebagai dasar negara. Sastrapratedja menjelaskan, pengolahan filsofis Pancasila sebagai dasar negara ditujukan pada beberapa aspek. Pertama, agar dapat diberikan pertanggungjawaban rasional dan mendasar mengenai sila-sila dalam Pancasila sebagai prinsip-prinsip politik. Kedua, agar dapat dijabarkan lebih lanjut sehingga menjadi operasional dalam bidang-bidang yang menyangkut hidup bernegara. Ketiga, agar dapat membuka dialog dengan berbagai perspektif baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keempat, agar dapat menjadi kerangka evaluasi terhadap segala kegiatan yang bersangkut paut dengan kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat, serta memberikan perspektif pemecahan terhadap permasalahan nasional (Sastrapratedja, 2001: 3).

Paristiyanti, dkk. (2016, 147-148) menjelaskan filsafat Pancasila sebagai Genetivus Objectivus dan Genetivus Subjectivus. Pancasila sebagai Genetivus Objectivus, artinya, nilai-nilai Pancasila dijadikan sebagai objek yang dicari landasan filosofisnya berdasarkan sistem-sistem dan cabang-cabang filsafat yang berkembang di Barat. Notonagoro menganalisis nilai-nilai Pancasila berdasarkan pendekatan substansial filsafat Aristoteles, sebagaimana yang terdapat dalam karyanya yang berjudul Pancasila Ilmiah Populer. Driyarkara menyoroti nilai-nilai Pancasila dari pendekatan eksistensialisme religius, sebagaimana dalam tulisannya Pancasila dan Religi. Pancasila sebagai Genetivus Subjectivus, artinya, nilai-nilai Pancasila digunakan untuk mengkritisi berbagai aliran filsafat yang berkembang, baik menemukan hal-hal yang sesuai atau tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai Pancasila tidak hanya dipakai sebagai dasar bagi pembuatan peraturan perundang-undangan, tetapi juga menjadi orientasi pelaksanaan sistem politik dan dasar bagi pembangunan nasional.

Pancasila sebagai Genetivus Subjectivus memerlukan landasan pijak filosofis yang kuat yang mencakup tiga dimensi, yaitu landasan ontologis, landasan epistemologi, dan landasan aksiologi. Ontologi menurut pandangan Bakker adalah ilmu yang paling universal karena objeknya meliputi segala-galanya, menurut segala bagiannya (ekstensif) dan menurut segala aspeknya (intensif) (Bakker, 1992: 16). Bakker mengaitkan dimensi ontologi ke dalam Pancasila dalam uraian berikut. Manusia adalah makhluk individu dan sosial (monodualisme), yang secara universal berlaku pula bagi substansi infrahuman, manusia, dan Tuhan. Sila Pancasila menurut Bakker menunjukkan dan mengandaikan kemandirian masing-masing, tetapi dengan menekankan kesatuannya yang mendasar dan keterikatan dalam relasi-relasi. Dalam kebersamaan itu, sila-sila Pancasila merupakan suatu hierarki teratur yang berhubungan satu sama lain, tanpa dikompromikankan otonominya, khususnya pada Tuhan. Bakker menegaskan, baik manusia dan substansi infrahuman bersama dengan otonominya ditandai ketergantungan pada Tuhan (Sang Pencipta). Ia menyimpulkan bahwa segala jenis dan taraf substansi berbeda secara esensial, tetapi tetap ada keserupaan mendasar (Bakker, 1992: 38).

Landasan ontologis Pancasila, dijabarkan Sastrapratedja (2010: 147-154) melalui prinsip berikut. (1) Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan pengakuan atas kebebasan beragama, saling menghormati dan toleransi, serta menciptakan kondisi agar hak kebebasan beragama dapat dilaksanakan masing-masing pemeluk agama. (2) Prinsip Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, mengakui bahwa setiap orang memiliki martabat yang sama, setiap orang harus diperlakukan adil sebagai manusia yang menjadi dasar bagi pelaksanaan Hak Asasi Manusia. (3) Prinsip Persatuan, mengandung konsep nasionalisme politik yang menyatakan perbedaan budaya, etnis, bahasa, dan agama tidak mengurangi partsipasi perwujudannya sebagai warga negara kebangsaan yang bertujuan menciptakan identitas nasional. (4) Prinsip Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, mengandung makna sistem demokrasi diusahakan melalui proses musyawarah mufakat untuk menghindari dikotomi mayoritas dan minoritas. (5) Prinsip Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, didasarkan prinsip tidak adanya kemiskinan dalam negara Indonesia merdeka, hidup dalam kesejahteraan (welfare state).

Epistemologi adalah cabang filsafat pengetahuan yang membahas sifat dasar pengetahuan, kemungkinan, lingkup, dan dasar umum pengetahuan (Bahm, 1995: 5). Soekarno mengatakan Pancasila merupakan pengetahuan yang tertanam dalam pengalaman kehidupan rakyat Indonesia. Landasan epistemologi Pancasila, artinya,nilai-nilai Pancasila digali dari pengalaman bangsa Indonesia, kemudian disintesiskan menjadi sebuah pandangan komprehensif tentang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang penjabarannya sebagai berikut. (1) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, digali dari pengalaman kehidupan beragama bangsa Indonesia sejak dahulu sampai sekarang. (2) Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, digali dari pengalaman atas kesadaran masyarakat yang ditindas penjajahan. (3) Sila Persatuan Indonesia, digali dari pengalaman masyarakat Indonesia melawan politik pecah belah atau Devide et Impera yang menimbulkan konflik antarmasyarakat Indonesia. (4) Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, digali dari budaya bangsa Indonesia yang sudah mengenal—secara turun-temurun— pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat. (5) Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, digali dari prinsip-prinsip yang berkembang dalam masyarakat Indonesia, yang tercermin dalam sikap gotong royong (Paristiyanti, dkk., 2016: 153-154).

Littlejohn and Foss mengatakan aksiologi merupakan cabang filosofi yang berhubungan dengan penelitian tentang nilai-nilai. Salah satu masalah penting dalam aksiologi yang ditengarai Littlejohn and Foss, yaitu “dapatkah teori bebas dari nilai?” (Littlejohn and Foss, 2008: 27-28). Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia mengandung dimensi nilai yang tidak terukur seperti spiritualitas, kemanusiaan, solidaritas, musyawarah, dan keadilan. Pancasila merupakan sumber nilai yang harus dikembangkan dalam kehidupan bernegara dan dunia akademis sehingga teori ilmiah yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia berorientasi pada nilai-nlai Pancasila tersebut. Landasan aksiologi Pancasila, artinya, nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila. Sila pertama mengandung kualitas monoteis, spiritual, kekudusan, dan sakral. Sila kemanusiaan mengandung nilai martabat, harga diri, kebebasan, dan tanggung jawab. Sila persatuan mengandung nilai solidaritas dan kesetiakawanan. Sila kerakyatan mengandung nilai demokrasi, musyawarah, mufakat, dan berjiwa besar. Sila keadilan mengandung nilai kepedulian dan gotong royong (Paristiyanti, dkk., 2016: 156).

Komentar