SUMBER HISTORIS PANCASILA
SEBAGAI SISTEM FILSAFAT (1)
1.Kemerdekaan Indonesia dan kelahiran Pancasila dipengaruhi oleh agama yang berkembang di Indonesia.
2.Nilai kemanusiaan dalam masyarakat Indonesia dilahirkan dari perpaduan pengalaman bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim yang adil dan beradab, cinta kedamaian, dan kemerdekaan
SUMBER HISTORIS PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT (2)
SUMBER SOSIOLOGIS PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT
KELOMPOK MASYARAKAT AWAM
Memahami Pancasila sebagai sistem filsafat yang sudah dikenal masyarakat Indonesia dalam bentuk pandangan hidup (agama, adat istiadat, dan budaya berbagai suku bangsa di Indonesia).
KELOMPOK MASYARAKAT ILMIAH-AKADEMIS
Memahami Pancasila sebagai sistem filsafat dengan teori-teori yang bersifat akademis.
SUMBER POLITIS PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT
KELOMPOK PERTAMA, meliputi wacana politis tentang Pancasila sebagai sistem filsafat pada sidang BPUPKI, sidang PPKI, dan kuliah umum Soekarno antara tahun 1958 dan 1959 tentang pembahasan sila-sila Pancasila secara filosofis.
KELOMPOK KEDUA, mencakup berbagai argumen politis tentang Pancasila sebagai sistem filsafat yang disuarakan kembali di era reformasi dalam pidato politik Habibie 1 Juni 2011.
Pembahasan sila-sila Pancasila sebagai sistem filsafat dapat ditelusuri dalam sumber sejarah masyarakat Indonesia sebagai berikut. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sejak zaman dahulu hingga Indonesia merdeka, masyarakat Indonesia melewati masa panjang pengaruh agama Hindu-Buddha, Islam, dan Kristen. Artinya, manusia Indonesia telah mengenal Tuhan sejak dahulu sampai sekarang masih berlangsung sistem penyembahan dari berbagai kepercayaan dalam agama-agama yang hidup di Indonesia. Pada semua sistem religi-politik tradisional di muka bumi, termasuk Indonesia, agama memiliki peran sentral dalam pendefinisian institusi sosial (Latif, 2011: 57-59).
Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Nilai kemanusiaan dalam masyarakat Indonesia lahir dari perpaduan pengalaman bangsa Indonesia dalam sejarah. Bangsa Indonesia merupakan bangsa maritim yang telah menjelajah ke seluruh dunia sehingga membentuk karakter internasionalisme dalam kepribadian manusia Indonesia. Hasilnya terlihat setelah Indonesia merdeka, di mana sila kedua mengakar dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Kemerdekan Indonesia menghadirkan suatu bangsa berwawasan global dengan kearifan lokal, memiliki komitmen pada penertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan sosial, serta pada pemuliaan hakhak asasi manusia dalam suasana kekeluargaan kebangsan Indonesia (Latif, 2011: 201).
Sila Persatuan Indonesia. Kebangsaan Indonesia merefleksikan suatu kesatuan dalam keragaman, kebaruan dan kesilaman. Indonesia adalah bangsa majemuk paripurna yang menakjubkan karena kemajemukan sosial, kultural, dan teritorial dapat menyatu dalam suatu komunitas politik kebangsaan Indonesia. Indonesia adalah sebuah bangsa besar yang mewadahi warisan peradaban Nusantara dan kerajaankerajaan bahari terbesar di muka bumi. Untuk itu, tidak ada alasan bagi manusia baru Indonesia untuk tidak dapat mengukir kegemilangan (Latif, 2011: 377).
Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Demokrasi sebagai bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat merupakan fenomena baru di Indonesia yang muncul sebagai dampak kemerdekaan Indonesia. Sejarah menunjukkan kerajaan-kerajaan praIndonesia adalah kerajaan feodal yang dikuasai raja-raja autokrat. Meskipun demikian, nilai-nilai demokrasi dalam taraf tertentu telah berkembang dalam budaya Nusantara dan dipraktikkan setidaknya dalam unit politik kecil, seperti desa di Jawa, nagari di Sumatera Barat, banjar di Bali, dan lain sebagainya. Tan Malaka mengatakan paham kedaulatan rakyat sebenarnya telah tumbuh di alam kebudayaan Minangkabau, kekuasaan raja dibatasi ketundukannya pada keadilan dan kepatutan. Hatta menambahkan ada dua anasir tradisi demokrasi di Nusantara, yaitu (1) hak protes terhadap peraturan raja yang tidak adil dan (2) hak menyingkir dari kekuasaan raja yang tidak disenangi (Latif, 2011: 387-388).
Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Masyarakat adil dan makmur adalah impian yang telah lama ada di dalam dada keyakinan bangsa Indonesia. Impian itu terpahat dalam ungkapan “Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja”. Demi impian masyarakat yang adil dan makmur itu, pejuang bangsa mengorbankan dirinya untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Sejarah mencatat bangsa Indonesia dahulunya adalah bangsa yang hidup dalam keadilan dan kemakmuran, sebelum akhirnya dirampas kolonialisme (Latif, 2011: 493-494)
Sumber sosiologis Pancasila sebagai sistem filsafat dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama, yaitu masyarakat awam yang memahami Pancasila sebagai sistem filsafat dalam bentuk pandangan hidup. Hal ini ada dalam agama, adat istiadat, dan budaya berbagai suku bangsa di Indonesia. Kelompok pertama memahami sumber sosiologis Pancasila sebagai kearifan lokal yang memperlihatkan unsur-unsur filosofis Pancasila itu masih berbentuk pedoman hidup yang bersifat praktis dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam konteks agama, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang religius karena perkembangan kepercayaan yang ada di masyarakat sejak animisme, dinamisme, politeistis, hingga monoteis. Kelompok kedua, masyarakat ilmiah-akademis yang memahami Pancasila sebagai sistem filsafat dengan teori-teori yang bersifat akademis (Paristiyanti, dkk., 2016: 159).
Sumber politis Pancasila sebagai sistem filsafat dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama, meliputi wacana politis tentang Pancasila sebagai sistem filsafat pada sidang BPUPKI, sidang PPKI, dan kuliah umum Soekarno antara tahun 1958 dan 1959 tentang pembahasan sila-sila Pancasila secara filosofis. Kelompok kedua, mencakup argumen politis tentang Pancasila sebagai sistem filsafat yang disuarakan melalui pidato politik Habibie 1 Juni 2011. Wacana politis Pancasila sebagai sistem filsafat mengemuka ketika Soekarno mengemukakan konsep Philosofische Grondslag, dasar filsafat negara. Soekarno meletakkan kedudukan Pancasila sebagai dasar kerohanian bagi penyelenggaraan kehidupan bernegara di Indonesia.
1. Dalam kuliah umum di Istana Negara pada 22 Mei 1958, Soekarno menegaskan kedudukan Pancasila sebagai Weltanschauung dapat mempersatukan bangsa Indonesia dan menyelamatkan negara Indonesia dari disintegrasi bangsa (Soekarno, 2001: 65, dalam Paristiyanti, dkk., 2016).
2. Pada kuliah umum di Istana Negara pada 26 Juni 1958, Soekarno menjelaskan manusia Indonesia percaya kepada Tuhan sesuai agama yang dianutnya masingmasing. Sila pertama diterima semua kelompok agama, jika dihilangkan maka akan membuat batin segenap rakyat Indonesia hilang. Sila ini sejatinya bintang penuntun dalam bertindak (Soekarno, 2001: 93, dalam Paristiyanti, dkk., 2016). 3. Soekarno menjelaskan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab diperlukan untuk mencegah semangat chauvinisme atau rasialisme yang tidak sesuai dengan rasa berperikemanusiaan (Soekarno, 2001: 142, dalam Paristiyanti, dkk., 2016).
4. Pada Juli 1958 di Istana Negara, Soekarno menjelaskan sebagai sebuah bangsa, Indonesia lahir dari sekumpulan manusia yang mempunyai keinginan bersatu hidup bersama (Le desire d’etre ensemble) dan adanya kesamaan nasib. Maka bangsa Indonesia harus hidup dalam suatu kesatuan yang kuat dalam sebuah negara dengan tujuan untuk mempersatukan (Soekarno, 2001: 114, dalam Paristiyanti, dkk., 2016).
5. Soekarno memberikan kuliah umum tentang sila kerakyatan pada 3 September 1958 di Istana Negara bahwa demokrasi Indonesia harus membawa kepribadian Indonesia sendiri. Demokrasi Indonesia bukan alat teknis, melainkan suatu alam jiwa pemikiran dan perasaan bangsa Indonesia (Soekarno, 2001: 165, dalam Paristiyanti, dkk., 2016).
6. Pada kuliah umum seminar Pancasila di Yogyakarta 21 Februari 1959, Soekarno menguraikan Keadilan Sosial bagi Seluruh Bangsa Indonesia merupakan suatu keharusan karena hal itu merupakan amanat dari para leluhur bangsa Indonesia— yang menderita pada masa penjajahan—dan para pejuang yang telah gugur dalam memperjuangkan kemerdekaan (Soekarno, 2011: 191, dalam Paristiyanti, dkk., 2016).
Diwakili Habibie dalam pidato 1 Juni 2011, yang menyuarakan kembali pentingnya Pancasila bagi kehidupan bangsa Indonesia setelah dilupakan cukup panjang—sekitar satu dasawarsa pada euforia politik di awal reformasi. Secara ringkas, berikut intisari pidato Habibie.
1. Pancasila memiliki kedudukan penting sebagai dasar filosofis bangsa Indonesia dalam dinamika sejarah sistem politik sejak Orde Lama hingga era reformasi (Habibie, 2011: 1).
2. Ada tiga faktor perubahan yang menimbulkan pergeseran nilai dalam kehidupan bangsa Indonesia, yaitu globalisasi dalam segala aspeknya, perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM) yang mengabaikan kewajiban asasi manusia (KAM), dan lonjakan pemanfaatan teknologi informasi yang berdampak kekuatan sekaligus rentan terhadap "manipulasi" informasi (Habibie, 2011: 2).
3. Pentingnya reaktualisasi Pancasila untuk memperkuat paham kebangsaan Indonesia yang majemuk. (Habibie, 2011: 5).
4. Perlunya implementasi nilai-nilai Pancasila secara cerdas, konsekuen, dan konsisten dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia, baik masa kini dan masa depan. __________________
1.Kemerdekaan Indonesia dan kelahiran Pancasila dipengaruhi oleh agama yang berkembang di Indonesia.
2.Nilai kemanusiaan dalam masyarakat Indonesia dilahirkan dari perpaduan pengalaman bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim yang adil dan beradab, cinta kedamaian, dan kemerdekaan
SUMBER HISTORIS PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT (2)
- Indonesia adalah bangsa majemuk paripurna, baik secara sosial, kultural, dan teritorial.
- Sejak dahulu, masyarakat Indonesia sudah menjalankan sistem yang demokratis.
- Masyarakat yang adil dan makmur adalah impian kebahagiaan yang telah berkobar ratusan tahun lamanya.
SUMBER SOSIOLOGIS PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT
KELOMPOK MASYARAKAT AWAM
Memahami Pancasila sebagai sistem filsafat yang sudah dikenal masyarakat Indonesia dalam bentuk pandangan hidup (agama, adat istiadat, dan budaya berbagai suku bangsa di Indonesia).
KELOMPOK MASYARAKAT ILMIAH-AKADEMIS
Memahami Pancasila sebagai sistem filsafat dengan teori-teori yang bersifat akademis.
SUMBER POLITIS PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT
KELOMPOK PERTAMA, meliputi wacana politis tentang Pancasila sebagai sistem filsafat pada sidang BPUPKI, sidang PPKI, dan kuliah umum Soekarno antara tahun 1958 dan 1959 tentang pembahasan sila-sila Pancasila secara filosofis.
KELOMPOK KEDUA, mencakup berbagai argumen politis tentang Pancasila sebagai sistem filsafat yang disuarakan kembali di era reformasi dalam pidato politik Habibie 1 Juni 2011.
Pembahasan sila-sila Pancasila sebagai sistem filsafat dapat ditelusuri dalam sumber sejarah masyarakat Indonesia sebagai berikut. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sejak zaman dahulu hingga Indonesia merdeka, masyarakat Indonesia melewati masa panjang pengaruh agama Hindu-Buddha, Islam, dan Kristen. Artinya, manusia Indonesia telah mengenal Tuhan sejak dahulu sampai sekarang masih berlangsung sistem penyembahan dari berbagai kepercayaan dalam agama-agama yang hidup di Indonesia. Pada semua sistem religi-politik tradisional di muka bumi, termasuk Indonesia, agama memiliki peran sentral dalam pendefinisian institusi sosial (Latif, 2011: 57-59).
Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Nilai kemanusiaan dalam masyarakat Indonesia lahir dari perpaduan pengalaman bangsa Indonesia dalam sejarah. Bangsa Indonesia merupakan bangsa maritim yang telah menjelajah ke seluruh dunia sehingga membentuk karakter internasionalisme dalam kepribadian manusia Indonesia. Hasilnya terlihat setelah Indonesia merdeka, di mana sila kedua mengakar dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Kemerdekan Indonesia menghadirkan suatu bangsa berwawasan global dengan kearifan lokal, memiliki komitmen pada penertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan sosial, serta pada pemuliaan hakhak asasi manusia dalam suasana kekeluargaan kebangsan Indonesia (Latif, 2011: 201).
Sila Persatuan Indonesia. Kebangsaan Indonesia merefleksikan suatu kesatuan dalam keragaman, kebaruan dan kesilaman. Indonesia adalah bangsa majemuk paripurna yang menakjubkan karena kemajemukan sosial, kultural, dan teritorial dapat menyatu dalam suatu komunitas politik kebangsaan Indonesia. Indonesia adalah sebuah bangsa besar yang mewadahi warisan peradaban Nusantara dan kerajaankerajaan bahari terbesar di muka bumi. Untuk itu, tidak ada alasan bagi manusia baru Indonesia untuk tidak dapat mengukir kegemilangan (Latif, 2011: 377).
Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Demokrasi sebagai bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat merupakan fenomena baru di Indonesia yang muncul sebagai dampak kemerdekaan Indonesia. Sejarah menunjukkan kerajaan-kerajaan praIndonesia adalah kerajaan feodal yang dikuasai raja-raja autokrat. Meskipun demikian, nilai-nilai demokrasi dalam taraf tertentu telah berkembang dalam budaya Nusantara dan dipraktikkan setidaknya dalam unit politik kecil, seperti desa di Jawa, nagari di Sumatera Barat, banjar di Bali, dan lain sebagainya. Tan Malaka mengatakan paham kedaulatan rakyat sebenarnya telah tumbuh di alam kebudayaan Minangkabau, kekuasaan raja dibatasi ketundukannya pada keadilan dan kepatutan. Hatta menambahkan ada dua anasir tradisi demokrasi di Nusantara, yaitu (1) hak protes terhadap peraturan raja yang tidak adil dan (2) hak menyingkir dari kekuasaan raja yang tidak disenangi (Latif, 2011: 387-388).
Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Masyarakat adil dan makmur adalah impian yang telah lama ada di dalam dada keyakinan bangsa Indonesia. Impian itu terpahat dalam ungkapan “Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja”. Demi impian masyarakat yang adil dan makmur itu, pejuang bangsa mengorbankan dirinya untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Sejarah mencatat bangsa Indonesia dahulunya adalah bangsa yang hidup dalam keadilan dan kemakmuran, sebelum akhirnya dirampas kolonialisme (Latif, 2011: 493-494)
Sumber sosiologis Pancasila sebagai sistem filsafat dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama, yaitu masyarakat awam yang memahami Pancasila sebagai sistem filsafat dalam bentuk pandangan hidup. Hal ini ada dalam agama, adat istiadat, dan budaya berbagai suku bangsa di Indonesia. Kelompok pertama memahami sumber sosiologis Pancasila sebagai kearifan lokal yang memperlihatkan unsur-unsur filosofis Pancasila itu masih berbentuk pedoman hidup yang bersifat praktis dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam konteks agama, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang religius karena perkembangan kepercayaan yang ada di masyarakat sejak animisme, dinamisme, politeistis, hingga monoteis. Kelompok kedua, masyarakat ilmiah-akademis yang memahami Pancasila sebagai sistem filsafat dengan teori-teori yang bersifat akademis (Paristiyanti, dkk., 2016: 159).
Sumber politis Pancasila sebagai sistem filsafat dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama, meliputi wacana politis tentang Pancasila sebagai sistem filsafat pada sidang BPUPKI, sidang PPKI, dan kuliah umum Soekarno antara tahun 1958 dan 1959 tentang pembahasan sila-sila Pancasila secara filosofis. Kelompok kedua, mencakup argumen politis tentang Pancasila sebagai sistem filsafat yang disuarakan melalui pidato politik Habibie 1 Juni 2011. Wacana politis Pancasila sebagai sistem filsafat mengemuka ketika Soekarno mengemukakan konsep Philosofische Grondslag, dasar filsafat negara. Soekarno meletakkan kedudukan Pancasila sebagai dasar kerohanian bagi penyelenggaraan kehidupan bernegara di Indonesia.
1. Dalam kuliah umum di Istana Negara pada 22 Mei 1958, Soekarno menegaskan kedudukan Pancasila sebagai Weltanschauung dapat mempersatukan bangsa Indonesia dan menyelamatkan negara Indonesia dari disintegrasi bangsa (Soekarno, 2001: 65, dalam Paristiyanti, dkk., 2016).
2. Pada kuliah umum di Istana Negara pada 26 Juni 1958, Soekarno menjelaskan manusia Indonesia percaya kepada Tuhan sesuai agama yang dianutnya masingmasing. Sila pertama diterima semua kelompok agama, jika dihilangkan maka akan membuat batin segenap rakyat Indonesia hilang. Sila ini sejatinya bintang penuntun dalam bertindak (Soekarno, 2001: 93, dalam Paristiyanti, dkk., 2016). 3. Soekarno menjelaskan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab diperlukan untuk mencegah semangat chauvinisme atau rasialisme yang tidak sesuai dengan rasa berperikemanusiaan (Soekarno, 2001: 142, dalam Paristiyanti, dkk., 2016).
4. Pada Juli 1958 di Istana Negara, Soekarno menjelaskan sebagai sebuah bangsa, Indonesia lahir dari sekumpulan manusia yang mempunyai keinginan bersatu hidup bersama (Le desire d’etre ensemble) dan adanya kesamaan nasib. Maka bangsa Indonesia harus hidup dalam suatu kesatuan yang kuat dalam sebuah negara dengan tujuan untuk mempersatukan (Soekarno, 2001: 114, dalam Paristiyanti, dkk., 2016).
5. Soekarno memberikan kuliah umum tentang sila kerakyatan pada 3 September 1958 di Istana Negara bahwa demokrasi Indonesia harus membawa kepribadian Indonesia sendiri. Demokrasi Indonesia bukan alat teknis, melainkan suatu alam jiwa pemikiran dan perasaan bangsa Indonesia (Soekarno, 2001: 165, dalam Paristiyanti, dkk., 2016).
6. Pada kuliah umum seminar Pancasila di Yogyakarta 21 Februari 1959, Soekarno menguraikan Keadilan Sosial bagi Seluruh Bangsa Indonesia merupakan suatu keharusan karena hal itu merupakan amanat dari para leluhur bangsa Indonesia— yang menderita pada masa penjajahan—dan para pejuang yang telah gugur dalam memperjuangkan kemerdekaan (Soekarno, 2011: 191, dalam Paristiyanti, dkk., 2016).
Diwakili Habibie dalam pidato 1 Juni 2011, yang menyuarakan kembali pentingnya Pancasila bagi kehidupan bangsa Indonesia setelah dilupakan cukup panjang—sekitar satu dasawarsa pada euforia politik di awal reformasi. Secara ringkas, berikut intisari pidato Habibie.
1. Pancasila memiliki kedudukan penting sebagai dasar filosofis bangsa Indonesia dalam dinamika sejarah sistem politik sejak Orde Lama hingga era reformasi (Habibie, 2011: 1).
2. Ada tiga faktor perubahan yang menimbulkan pergeseran nilai dalam kehidupan bangsa Indonesia, yaitu globalisasi dalam segala aspeknya, perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM) yang mengabaikan kewajiban asasi manusia (KAM), dan lonjakan pemanfaatan teknologi informasi yang berdampak kekuatan sekaligus rentan terhadap "manipulasi" informasi (Habibie, 2011: 2).
3. Pentingnya reaktualisasi Pancasila untuk memperkuat paham kebangsaan Indonesia yang majemuk. (Habibie, 2011: 5).
4. Perlunya implementasi nilai-nilai Pancasila secara cerdas, konsekuen, dan konsisten dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia, baik masa kini dan masa depan. __________________
Komentar
Posting Komentar